Sunday, May 27, 2012


A. Pendahuluan
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. “Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus”.
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, “Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.
Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits, misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin ‘Amr bin al-’As (w.65 H/685 M), Abdullah bin ‘Abbas (w.68 H/687 M), ‘Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa’ (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.
Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi’in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma’na), sedang redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.
Dengan demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadits-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur’an. Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.



Pengertian Hadits,Sunnah,Khabar,dan Atsar
A. Hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
a. al  ampe minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
b. Qorib (yang dekat)
c. Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. 
Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين.
Artinya : “maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang sepertinya jika mereka orang yang benar” (QS. At Thur; 24).
Menurut istilah, ada beberapa pendapat dari para ulama :
1. Ulama Hadits umumnya menyatakan bahwa “Hadits ialah segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau, segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau”.
2. Ulama Ushul menyatakan “Hadits ialah segala perkataan, segala perbuatan dan taqrir Nabi, yang berhubungan dengan  ampe”.
3. Sebagian Ulama antara lain At-Thiby menyatakan “Hadits ialah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi, para sahabat dan para Tabi’in”.
4. Abdul Wahab Ibnu Subky dalam Mutnul Jam’il Jawami menyatakan “Hadits ialah segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW”.
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits  amper sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. Setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
__________________________________________________
Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir. Ulumul Hadits untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1997.      
                    



Ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang hadits. Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Menurut rumusan lain, hadits adalah “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.”
Adapun menurut muhadditsin, hadits itu adalah “Segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi) ataupun hadits maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).”Dan ahli ushul berpendapat, bahwa hadits adalah “Semua perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.”
        Sesuai definisinya ada tiga macam hadits :
1. Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya, sabda Nabi SAW ;
“Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Muslim)
2. Hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah) mencakup perilaku beliau, seperti tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang sahabat berkata : “Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan shalat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir.” (HR. Muslim)
3. Hadits penetapan (taqririyah) yaitu berupa penetapan atau penilaian Nabi SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW. contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ; “Kami (Para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum shalat maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh juga tidak melarang kami ” (HR. Muslim)
_________________________________ 
Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir. Ulumul Hadits untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1997              


B. Sunnah 
  > Sunnah menurut bahasa, sunnah adalah “Kebiasaan dan jalan (cara) yang baik dan yang jelek.” Menurut batasan lain, sunnah berarti “Jalan (yang dilalui) baik yang terpuji atau yang tercela ataupun jalan yang lurus atau tuntutan yang tetap (konsisten).”
Ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan arti sunnah menurut bahasa antara lain:
i. QS. Al-Anfal: 38
38. Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu[609]: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi[610] Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ".
ii. QS. Al-Hijr: 13
13. Mereka tidak beriman kepadanya (Al Quran) dan Sesungguhnya Telah berlalu sunnatullah terhadap orang-orang dahulu[794].
Maksud sunnatullah di sini ialah membinasakan orang-orang yang mendustakan rasul.
iii. QS. Al-Ahzab: 62
62. Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang Telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.
iv. QS. Al-Mukmin: 85
85. Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka Telah melihat siksa kami. Itulah sunnah Allah yang Telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.



________________________________________
Shiddiqiey, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2001


Menurut istilah, ada beberapa pendapat :
a. Menurut Ahli Hadits 
Sunnah  Segala yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, taqrir, pengajaran, sifat, keadaan, maupun perjalanan hidup beliau, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah menjadi Rasul.
b. Menurut Ahli Ushul
Sunnah  Segala yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir (pengakuan), yang mempunyai hubungan dengan hukum.
c. Menurut Ahli Fiqih
Sunnah  Suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan dan tidak diberi siksa apabila ditinggalkan.
d. Menurut Ibnu Taimiyah
Sunnah  Adat (tradisi) yang telah berulah kali dilakukan masyarakat, baik yang dipandang ibadah maupun tidak.
e. Menurut Dr. Taufiq Sidqy
Sunnah  Thariqat (jalan) yang dipraktekkan oleh Rasulullah saw, terus-menerus dan diikuti oleh para sahabat beliau.
f. Menurut Prof. Dr. T. M. Habsi Ash-Shiddieqy
Sunnah  Suatu amalan yang dilaksanakan oleh Nabi saw, secara terus menerus dan dinukilkan kepada kita dari zaman ke zaman dengan jalan mutawatir”.
 g.Sunnah menurut Muhadditsin adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya.
 h.Sunnah menurut Fuqoha adalah sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad saw, yang bukan fardlu ataupun wajib.
  i.Sunnah menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi-selain al Qur’an- baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.
___________________________________________  
Shiddiqiey, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2001
       


C. Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Khabar menurut Muhadditsun adalah warta dari Nabi, Sahabat, dan Tabi’in. oleh karena itu, hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’ bisa dikatakan sebagai khabar. Dan menurutnya khabar murodif dengan hadits.
Sebahagian ulama berpendapat bahawasannya hadits dari Rasul, sedangkan khabar dari selain Rasul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan hadits disebut Muhadditsin dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang lain disebut Akhbari.
Adapun secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi khabar, yaitu:
a. Kata khabar sinonim dengan hadits;
b. Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi Muhammad. Sedangkan hadits adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad.
c. Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari hadits. Oleh karena itu, setiap hadits dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat disebut dengan hadits.
Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar menurut lughat, berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu’. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadits. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah ‘umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits. Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi’in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. 
___________________________________ 
http/ /www.hanumsyafa.wordpress.com/category/ulumul-hadits/

D.Atsar
Secara etimologi atsar berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. “Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.

Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar 
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
____________________________________  
http/ /www.hanumsyafa.wordpress.com/category/ulumul-hadits/
  


(a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
(b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. “Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar”.
(c) Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi’in. “Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)”. Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi’in.




________________________________  
http/ /www.hanumsyafa.wordpress.com/category/ulumul-hadits/
                                   


BENTUK-BENTUK HADITS
1. Hadits Qauli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berupa perkataan ataupun ucapan yang berkaitan dengan aqidah, syariah dan akhlak. 
Contoh hadits qauli ialah tentang do’a Rasulullah SAW yang ditunjukan kepada orang yang mendengan, menghafal dan menyampaikan ilmu. Hadits tersebut berbunyi : 
نصر الله امرأ سمع منا حديثا فحفظه وبلغه غيره فرب حامل فقه ليس بفقيه ثلاث لايغل عليهن قلب مسلم اخلاص العمل لله ومناصحة ولاة الامور ولزوم جماعة فان دعوتهم طحيط من ورائهم
 Artinya: ” Semoga Allah memberikan kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataan dariku kemudian menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain karena banyak orang yang berbicara mengenal fiqih padahal ia bukan ahlinya. Ada tiga sifat yang dapat menghindari timbulnya rasa dengki dihati seorang muslim, yaitu ikhlas beramal kepaa Allaw SWT, salng menasehati dengan pihak penguasa, dan patuh atau setia terhadap jamaah. Karena sesungguhnya do’a mereka akan membimbing dan menjaganya dari belakang”.
Hadits berupa sabda Rasulullah SAW dalam berbagai hal dan keadaan. 
(رواه مسلم )  المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا 
Artinya : “Orang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan yang satu sama yang lainnya saling menguatkan:. (HR. Muslim) 
 Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ 
Artinya: ”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714) 
____________________________________  
izzuddinrusdi.wordpress.com/2010/08/30/bentuk-bentuk-hadits/
 
                          

2. Hadits Fi’li adalah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi Muhammad SAW yang sampai kepada kita, seperti hadits tentang sholat dan haji. 
Contoh hadits fi’li tentang sholat adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi: 
(رواه البخارى ومسلم )( صلوا كما رايتمونى اصلى) 

Artinya: ” Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat “. (HR.Bukhori dan Muslim). 
Misalnya hadits riwayat al-Bukhari dari Jabir ibn ‘Abd Allah:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة 
Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat ”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)

كان النبى صلعم يسوى صفوفنا اذا قمنا الى الصلاة فاذا استوينا كبر
(رواه مسلم)
Artinya: ” Nabi SAW menyamakan (meluruskan) shaf-shaf kami ketika kami melaksanakan shalat, apabila shaf-shaf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir “. (HR. Muslim) 


____________________________________ 
izzuddinrusdi.wordpress.com/2010/08/30/bentuk-bentuk-hadits/




3. Hadits Taqriri yaitu penetapan atau penilaian Rasulullah SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW. 
     
Contoh : 
كنا نصلى ركعتين بعد غروب الشمس وكان رسول الله صلعم يزانا ولم يأمرنا ولم ينهنا
 رواه مسلم
Artinya: ” Kami (para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum shalat magrib). Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh dan tidak pula melarang kami“. (HR. Muslim) 

        Diantara contoh hadits taqriri ialah sikap Rasul SAW membiarkan para sahabat melaksanakan perintahnya sesuai dengan penafsiran mereka terhadap sabdanya yang berbunyi: 
لايصلين احد العسر لافى بنى قريضة
 رواه البخارى
    Artinya: “Janganlah seseorangpun shalat ashar kecuali bila tiba dibani
Quraidah”. (HR. Muslim) 
        Sebagian sahabat memahami larangan tersebut, sehingga mereka tidak melaksanakan shalat ashar pada waktunya. Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut dengan segera menuju bani Quraidhah sehingga mereka dapat melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi SAW tanpa menyalahkan atau mengingkarinya. 
_______________________________  
izzuddinrusdi.wordpress.com/2010/08/30/bentuk-bentuk-hadits/



4. Hadits Hammi
Hadits hammi adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi saw yang belum sempat beliau realisasikan, seperti halnya keinganan untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura sebagai diriwayatkan dari ‘Abd Allah ibn ‘Abbas:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
Artinya: “Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada har ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan, “Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim, V: 479, hadits 1916)
5. Hadits Ahwali
Hadits ahwali adalah hadits yang menyebutkan hal ihwal Nabi saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya. Contohnya, pernyataan al-Barra` ibn ‘Azib berikut ini:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِي
Artinya: “Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”. (Shahih al-Bukhari, XI: 384, hadits 3285)


 ______________________________________
izzuddinrusdi.wordpress.com/2010/08/30/bentuk-bentuk-hadits/



                           Hadits Qudsi

Secara etimologi Hadits Qudsi merupakan nisbah kepada kata Quds yang mempunyai arti bersih atau suci. Sedangkan secara terminologis, pengertian hadits qudsi terdapat dua versi. Yang pertama hadits qudsi merupakan kalam Allah SWT (baik dalam sturiktur maupun substansi bahasanya), dan Nabi hanya sebagai penyampai Yang kedua hadits qudsi adalah perkataan dari Nabi, sedangkan isi dari perkataan tersebut berasal dari Allah SWT. Maka dalam redaksinya sering memakai قال الله تعالى. . 

Bentuk-Bentuk Periwayatan
Ada dua bentuk periwayatan hadits qudsi :
Pertama, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Seperti yang diriwayatkannya dari Allah ‘azza wa jalla”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah ‘azza wa jalla” bahwasannya Allah berfirman : “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu saling menganiaya di antara kalian”.
Kedua, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Allah berfirman….”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Allah ta’ala berfirman : Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.

_____________________________  
Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah: Abu Fuad. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah



Perbezaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi 
 Hadis Qudsi biasanya diberi ciri-ciri dengan kalimat-kalimat: 
1) Qalallahu 
2) Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala 
3) Lafaz-lafaz lain yang semakna dengan apa yang tersebut di atas, setelah penyebutan rawi yang menjadi sumber pertamanya yakni sahabat 
Sedang untuk Hadis Nabawi, tidak ada ciri-ciri demikian. Contohnya; 
 "Dari Abu Dzar Jundab bin Junadah ra dari Nabi saw berdasarkan berita yang disampaikan Allah Tabaraka wa Ta'ala, bahwa Allah telahg berfirman: " Wahai hambaKu! Aku telah mengharamkan zalim terhadap diriKu sendiri. Aku telah jadikan perbuatan zalim itu terlarang antara kamu sekelian. Kerana itu janganlah kamu saling zalim menzalimi, dan seterusnya" (Rawahul Muslim) 
 "Dari Abu Dzarr ra ujarnya: Rasulullah saw bersabda: Firman Allah 'Azza wa Jalla: " Siapa yang menjalankan kebaikan, dia berhak menerima sepuluh kali ganda atau lebih; sedang siapa berbuat kejahatan, maka balasannya satu kejahatan yang sepadan atau bahkan Aku ampuni, dan seterusnya...." (Rawahul Muslim) 
Perbezaan Hadis Qudsi dan Al-Quran 
 1) Semua lafaz Al-Quran adalah mukjizat dan mutawattir, sedangkan Hadis Qudsi tidak demikian halnya. 
2) Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Quran, tidak berlaku bagi Al-Hadis seperti larangan menyentuhnya orang yang berhadas kecil, dan larangan membacanya bagi orang yang berhadas besar.Sedangkan Hadis Qudsi tidak ada larangan. 
3) Setiap huruf yang dibaca dari Al-Quran diberi pahala kepada pembacanya 10 kebaikan. 
4) Meriwayatkan Al-Quran tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafaz sinonimnya. Berlainan dengan Al-Hadis.

__________________________  
Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah: Abu Fuad. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah



KESIMPULAN

Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Sunnnah menurut bahasa, sunnah adalah “Kebiasaan dan jalan (cara) yang baik dan yang jelek.” Menurut batasan lain, sunnah berarti “Jalan (yang dilalui) baik yang terpuji atau yang tercela ataupun jalan yang lurus atau tuntutan yang tetap (konsisten).”
Dan ahli fiqih mengartikan sunnah sebagai “Segala ketetapan yang berasal dari Nabi selain yang difardhukan dan diwajibkan.” Menurut mereka, “Sunnah merupakan salah satu hukum yang lima (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), dan yang tidak termasuk kelima hukum ini disebut bid’ah.”
Khabar menurut bahasa adalah “Semua berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.” Menurut ahli hadits, khabar sama dengan hadits. Keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf, dan maqthu’, dan mencakup segala sesuatu yang datang dari Nabi, sahabat, dan tabi’in.Adapun atsar berdasarkan bahasa sama pula dengan khabar, hadits, dan sunnah.
Umat Islam pada saat itu secara langsung memperoleh Hadits dari Rasul SAW sebagai sumber Hadits, baik itu berupa perkataan, perbuatan dan taqrir. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka. Para sahabat menerima Hadits dari Rasul SAW adakalanya langsung dari beliau sendiri, mereka langsung mendengar atau melihat contoh perilaku yang dilakukan Nabi SAW, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang kepada Nabi lalu Nabi menjawabnya, atau karena Nabi sendiri yang memulai pembicaan tentang suatu persoalan. Indah sekali, betapa bahagia dan indahnya umat pada saat itu. 
Hadits  digolongkan kepada lima iaitu:-
Hadis Qauli adalah: 
>Seluruh Hadis yang diucapkan Rasul SAW untuk berbagai tujuan dan dalam berbagai kesempatan. 
Hadis Fi’li adalah:
>Iaitu seluruh perbuatan yang dilaksanakan oleh Rasul SAW. 


Hadits Taqriri adalah:

Taqrir adalah keadaan nabi yang mendiamkan atau tidak mengadakan sanggahan dan reaksi terhadap tindakan atau perilaku para sahabatnya serta menyetujui apa yang dilakukan oleh para sahabatnya itu.
Hadits Himma adalah:
adalah suatu keinginan atau cita-cita nabi dan nabi belum melakukannya . cita -cita nabi karena ketakutan beliau masihkan diberi kesempatan untuk hidup.Himmah (keinginan) Nabi untuk melaksanakan suatu hal, seperti keinginan beliau untuk berpuasa setiap tanggal 9 Muharram.
Hadits Ahwali adalah:
 Sifat-sifat Nabi yang digambarkan dan dituliskan oleh para sahabatnya dan dan para ahli sejarah baik mengenai sifat jasmani ataupun moralnya.

Hadits Qudsi
1. Menurut bahasa: Al-Qudsiyu dinisbahkan pada kata Al-Quds yang berarti suci sebagaimana yang ada dalam kamus. Iaitu hadits yang dinisbahkan kepada Zat Yang Maha Suci, Allah Ta’ala.
2. Menurut istilah: hadits yang disampaikan kepada kita, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
3. Jumlah hadits Qudsi
4. Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, jumlah hadits qudsi itu tidak banyak. Jumlah hadits qudsi lebih dari dua ratus buah.
5. Contoh Hadits Qudsi
6. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang meriwayatkan dari Allah Ta’ala bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah melarang kedzaliman terhadap diri-Ku, dan telah Ku jadikan di antara kalian sebagai suatu yang terlarang, maka janganlah kalian dzalim.”




                           Daftar Pustaka

Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir. Ulumul Hadits untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1997.    
Shiddiqiey, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang:Pustaka Rizki Putra. 2001
http/ /www.hanumsyafa.wordpress.com/category/ulumul-hadits/
izzuddinrusdi.wordpress.com/2010/08/30/bentuk-bentuk-hadits/
Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah: Abu Fuad. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah



  








Pertanggungjawaban Pidana

BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang  akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai  pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious  liability,  erfolgshaftung,  kesesatan  atau  error,  rechterlijk  pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak  pidana. Maka  dari itu ada  pula ketentuan  tentang subjek berupa korporasi. Semua asas itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asas kesalahan atau asas culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsip umum. Perumusan asas ini biasanya terlihat dalam perumusan  mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”,  yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “ tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld ; actus non facit reum nisi mens sir rea ) “. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.
Namun lain halnya dengan hukum pidana fiskal, yang tidak memakai kesalahan. Jadi jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau dirampas. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit ( fait materielle )

B.     Rumusan Permasalahan
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa definisi dari pertanggungjawaban pidana itu?
2.      Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini?


BAB II
PEMBAHASAN


Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban
A.    Definisi Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak[1].
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.[2] Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.[3]
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban  pidana  ialah  diteruskannya  celaan  yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang  yang  memenuhi  syarat  untuk  dapat  dijatuhi  pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak  pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.[4]
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.[5] Orangnya yang  aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.[6]
Kebijakan  menetapkan  suatu  sistem  pertanggungjawaban pidana   sebagai  salah  satu  kebijakan  kriminal  merupakan  persoalan pemilihan  dari   berbagai  alternatif.  Dengan  demikian,  pemilihan  dan penetapan  sistem  pertanggungjawaban  pidana  tidak  dapat  dilepaskan dari berbagai pertimbangan  yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut :
“Berbicara  tentang  konsep  liability  atau  “pertanggungjawaban” dilihat  dari  segi  falsafat  hukum,  seorang  filosof  besar  dalam  bidang hukum pada  abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of  Law,  telah  mengemukakan pendapatnya  ”I ….  Use  the simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally subjected to the exaction[7]
Bertitik  tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem  hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh   menguraikan   perkembangan   konsepsi   liability.   Teori   pertama, menurut Pound, bahwa  liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah   “dirugikan”.   Sejalan   dengan   semakin   efektifnya   perlindungan undang-undang terhadap kepentingan           masyarakat  akan suatu kedamaian dan  ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut  kerugian atau penderitaan yang  ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8]

B.     Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana,   apabila   ia tidak melakukan tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan   pidana unsur “ tindak  pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:


           TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN  = PIDANA



Unsur tindak   pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral  dalam  hukum  pidana.  Unsur  perbuatan  pidana  terletak  dalam lapangan objektif yang  diikuti  oleh unsur  sifat melawan  hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan  kealpaan).
a.      Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana     yang dianut.  Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang,  kedua  istilah  tersebut  tidak  dijelaskan  lebih  lanjut  oleh undang-undang  tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP.
Dari  rumusan  yang  tidak  jelas  itu,  timbul  pertanyaan,  apakah pasal-pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau benar,  tanpa  disadari  sebenarnya  KUHP  kita  juga menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
b.      Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
Untuk   mengetahui   kebijakan   legislatif   dalam   menetapkan sistem pertanggungjawaban          pidana di luar       KUHP, Seperti contoh dalam perundang-undangan dibawah ini :
a.       UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
b.      UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c.       UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d.      UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama  mengenai  subjek  delik  dan  pertanggungjawaban  pidana, serta  proses  beracara  di  pengadilan.
Dari  masing-masing  undang- undang   tersebut  dapat dianalisis  kecenderungan  legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana   sesuai   dengan perkembangan sosial  ekonomi Masyarakat yang  berdampak pada perkembangan kejahatan.
Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.[9] Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.
Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.[10]
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.[11] Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.


BAB III
PENUTUP


a.      Kesimpulan
Tindak pidana tidak berdiri sendiri, dia baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.
Pertanggungjawaban pidana dikarenakan berkait dengan unsur subyektif pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.
Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.








DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita , Romli, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan
Pertama,  Jakarta:  Yayasan LBH.
Hamzah, Andi, DR. SH. 1994, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Hatrik, Hamzah, SH. MH. 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo.
Huda, Choerul, Dr.SH. MH. , 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan,
Jakarta: Kencana.
Moeljatno, Prof. SH. 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta:
Rineka Cipta
Prakoso, Djoko, SH.  1987  Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia.
Yogyakarta: Liberty.
Zaenal Abidin, Andi, 1983,  Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.

Website :
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html
http://id.shvoong.com/tags/pertanggungjawaban-pidana
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/10/pengertian-pertanggungjawaban.html
http://fristianhumalanggi.wordpress.com/2008/04/15/pertanggungjawaban-dalam-hukum-pidana/

Perundang-undangan:
Undang-undang No. 7 tahun Drt tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cetakan Ke 18, Bumi Aksara,
Jakarta.
Rancangan   Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),  Direktorat Jenderal
        Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, Jakarta.

footnote

[1] http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html
[2] Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11
[3] Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987. Hal 75
[4] Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).
[5] DR. Andi Hamzah, SH. Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal.131
[6] W.P.J. Pompe, op.cit hal. 190
[7] Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama Jakarta:  Yayasan LBH, 1989, hal 79
[8] Ibid, halaman 80
[9] Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983, hal 260
[10] Dr. Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006 hal. 62
[11] Ibid hal 63

PIDANA DAN PEMIDANAAN




A.  PENDAHULUAN
Hukum pidana adalah hukum yang memberikan sanksi atau nestapa kepada si pelaku kejahatan ataupun pelanggaran. Oleh sebab itu perlu kita pahami bagaimana teori pemidaan terhadap si pelaku kejahatan atau pelanggaran serta tujuan dari pemidaan itu sendiri.
Maka dalam hal ini akan kami akan mencuba memaparkan kepada pembaca, seperti pembahasan berikut ini.

B.  PENGERTIAN PIDANA DAN PEMIDANAAN
1.    Pengertian Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikena-kan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.[1]

-Menurut Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang diper-gunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.
-Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.[2]
-Menurut Satochid Kartanegara,[3] bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut:
1.1    Jiwa manusia (leven);
1.2    Keutuhan tubuh manusia (lyf);
1.3    Kehormatan seseorang (eer);
1.4    Kesusilaan (zede);
1.5    Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
1.6    Harta benda/kekayaan (vermogen).

2.        Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan (rechtsdelict)  maupun pelanggaran (wetsdelict).

2.1    Kejahatan (rechtsdelict)
Orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karean perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP)

2.2  Pelanggaran (wetsdelict)

Meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).[4]


C.  TEORI DAN TUJUAN PEMIDANAAN
1.    Teori pemidanaan
Teori pemidanaan dapat digolongkan dalam empat golongan teori, yakni ;

1.1    Teori Pembalasan atau teori Imbalan (Vergfalden) atau teori Absolut (Vergeldingstheorieen).
Teori ini membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, maka terhadap pelaku pidana mutlak harus diadakan pembalasan berupa pidana dengan tidak mempersoalkan akibat pemidanaan bagi terpidana.

1.2    Teori Relatieve (Nisbi) atau teori Tujuan (Doeltheorieen)
Teori tujuan membenarkan pemidanaan (rechtsvaardigen), pada tujuan pemidanaan, yakni untuk mencegah terjadinya kejahatan (ne peccetur). Dengan adanya ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat yang bersangkutan atau untuk prevensi umum.

1.3    Teori Gabungan (Verenigings-theorieen).
Teori ini mendasarkan pemidanaan pada perpaduan antara teori pembalasan dengan teori tujuan, karena kedua teori tersebut bila berdiri sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai kelemahan.

1.4    Teori Negatif (Negativime).
Teori ini dipelopori oleh Hazelwinkel-Suringa mengatakan, bahwa kejahatan tidak boleh dilawan, dan musuh jangan dibenci karena hanya Tuhan yang paling berhak untuk mempidana pada mahluk-mahluknya.
George B Volt[5] menyebutkan teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang yang muncul manakala seseorang dihadapkan pada suatu gejala yang tidak dimengerti. Artinya teori bukan saja sesuatu yang penting tetapi lebih dari itu karena di sangat dibutuhkan dalam rangka mencari jawaban akademis.
Teori Tujuan pemidanaan dalam leteratur disebutkan berbeda-beda namun secara subtansi sama. Teori-teori tujuan pemidanaan tersebut pada umumnya ada 3 (tiga) teori yang sering di gunakan dalam mengkaji tentang tujuan permidanaan yaitu:
o   Teori Retributif (absolute)
o   Teori Relatif (Teori Tujuan)
o   Teori integrative (gabungan )

2.    Tujuan Pemidanaan
Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni ;

1.      Pandangan Retributif (Retributive View)
Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking).

2.      Pandangan utilitarian (utilitarian view). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu.

Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).[6]
Tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.

D.  KESIMPULAN
-Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikena-kan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana
-Pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan (rechtsdelict)  maupun pelanggaran (wetsdelict).
-Teori Tujuan pemidanaan dalam leteratur disebutkan berbeda-beda namun secara subtansi sama. Teori-teori tujuan pemidanaan tersebut pada umumnya ada 3 (tiga) teori yang sering di gunakan dalam mengkaji tentang tujuan permidanaan yaitu:
o  Teori Retributif (absolute)
o  Teori Relatif (Teori Tujuan)
o  Teori integrative (gabungan )


DAFTAR PUSTAKA

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni

J.M. van Bemmelen, 1987. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, (Bandung: Binacipta.

Satochid Kartanegara, 1954-1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V.
http://zamrul.wordpress.com/2009/02/24/perbedaan-kejahatan-dengan-pelanggaran/#more-239

yusriantokadir.files.wordpress.com/




Foot note :


[1] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 1.

[2] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 17.

[3] Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hal. 275-276.

[4] http://zamrul.wordpress.com/2009/02/24/perbedaan-kejahatan-dengan-pelanggaran/#more-239


[5] yusriantokadir.files.wordpress.com/


[6] Ibid, hlm. 10.